Andai aku bisa memilih, aku tidak ingin seperti ini. Tapi aku tidak memiliki pilihan. Sama seperti aku tidak pernah memilih lahir di keluarga miskin di daerah Singkawang Kalimantan Barat. Kalau banyak yang berpikir bahwa keturunan China di negara ini hidup dengan berkecukupan bahkan bisa di bilang kaya, maka lihatlah keluargaku.
Tidak hanya keluargaku tapi juga banyak keluarga dan gadis lain seperti aku. Di Singkawang sebagian besar penduduknya merupakan keturunan China. Aku lebih suka menyebutnya China miskin.
Kadang aku berpikir kenapa kami tidak seperti keturunan China lainnya? Kalau belum pernah melihat keturunan China menjadi petani, buruh atau kuli bangunan maupun nelayan, maka datanglah ke kampungku.
Di kota kelahiranku Singkawang, aku sering di panggil Amoy. Sebutan untuk gadis yang beranjak remaja dan belum menikah.
Panggil aku si Amoy Singkawang yang malang. Ya…Aku benar-benar malang! Dengarkanlah kisahku karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menghibur diriku.
“Kamu pernah berpikir untuk kuliah?” tanya Ai ling, sahabatku.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Kita harus punya mimpi!” lanjutnya kemudian.
“Mimpi? Untuk apa? Toh pada akhirnya kita tetap akan begini terus sampai mati!”
“Bermimpi itu mudah dan ngga perlu keluarin duit. Mungkin mimpi kita ngga akan terwujud tapi setidaknya kita pernah punya mimpi.”
Aku terdiam. Aku si Amoy malang dari kota seribu Klenteng. Kini usiaku 17 tahun. Kata orang masa-masa remaja itu indah tapi aku tidak bisa merasakannya.
Sehari-hari aku membantu kedua orang tuaku bercocok tanam di ladang. Meski kata orang aku memiliki wajah yang cantik tapi toh wajah cantik yang aku punya tidak mengubah nasib ekonomi keluargaku.
Namun itu semua berubah. Ketika ada begitu banyak lelaki asing yang datang ke kampungku untuk mencari gadis. Gadis untuk di nikahi. Ada diantara mereka yang aku tau berasal dari Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Singapura dan bahkan dari Amerika. Bukan rahasia lagi, kalau di amoy-amoy Singkawang terkenal dengan kecantikannya. Tidak hanya cantik. Tapi amoy seperti aku yang berasal dari Singkawang juga terkenal karena tekun, pekerja keras dan memiliki pengabdian yang tinggi kepada orang tua kami.
Aku terdiam memikirkan tawaran ibuku. Sebuah tawaran yang sering aku dengar. Sebuah tawaran yang membuatku dilema. Ibuku menyuruh aku menikah dengan seorang pria Taiwan yang katanya kaya raya. Tidak hanya itu, kalau aku menikah dengannya maka aku akan mendapat 10 juta sebagai mahar.
Aku tau, ibuku termasuk ayahku ingin aku menikah dengan pria itu bukan karena takut aku menjadi perawan tua. Tapi karena uang. Uang yang dianggap akan mengubah nasib keluarga kami.
“Jadi mimpi kamu apa?” tanya Ai Ling membuyarkan lamunanku.
“Aku ingin ke luar negeri.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja asal bukan di sini.”
“Aku juga.” Ucap Ai Ling.
Itulah mimpi kami berdua. Dan pada akhirnya mimpi yang sedikit kami paksakan itu menjadi kenyataan. Mimpi yang kami ucapkan secara spontan itu terwujud.
Mimpi itu terwujud. Aku akhirnya tinggal di Taiwan. Tapi tidak seperti yang aku pikirkan. Setelah aku menikah dengan seorang pria Taiwan yang resepsinya di adakan secara sederhana akhirnya aku di boyong oleh suamiku. Itu artinya aku harus mengikuti marga suamiku. Gadis keturunan China jika sudah menikah maka dianggap telah lepas dari garis keturunan keluarga sehingga aku harus mengikuti marga suamiku.
Aku benar-benar kaget ketika tiba di rumah suamiku. Bagaimana aku tidak kaget. Sebelum menikahiku dia bilang dia punya rumah mewah yang lengkap dengan isinya termasuk pembantu yang akan siap melayaniku. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Ternyata suamiku hanya seorang pedagang kaki lima yang mendagangkan hasil ladang. Tidak jauh beda dengan keluargaku di Singkawang.
Aku tertipu. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Kini sudah hampir tiga tahun aku disini. Serasa aku berada di neraka. Dari pagi sampai malam aku harus banting tulang kerja di tambah harus membantu mertuaku membuat kue untuk di jual juga. Tapi untungnya aku dari kecil sudah terbiasa kerja keras.
Aku pernah berpikir untuk kabur dan kembali ke Singkawang saja. Tidak masalah kalau orang-orang di kampungku mengatakan yang buruk tentang aku. Daripada aku harus disini menjadi seperti babu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pasporku di tahan oleh mertuaku.
Tapi aku masih bisa dibilang beruntung jika dibandingkan Ai Ling. Ai Ling tinggal tidak jauh dari rumahku. Suaminya adalah sahabat suamiku. Meski rumah kami berdekatan tapi kami jarang sekali bertemu. Tidak seperti dulu sewaktu di kampung.
Ai Ling dijadikan pelacur oleh suaminya sendiri. Tapi kami tidak berani menceritakan apa yang kami alami kepada keluarga kami. Betapa hancurnya hati mereka jika tau nasib anak mereka tidak seperti yang mereka harapkan. Aku dan Ai Ling kadang mengirim uang ke keluarga kami dengan cara sembunyi-sembunyi. Aku sendiri tidak tau kapan derita ini akan berakhir. Kini aku menyadari, kami para amoy Singkawang telah menjadi korban sindikat penjualan manusia yang di bungkus dengan pernikahan agar terkesan legal.
Biarlah kisahku ini tidak terjadi kepada amoy-amoy Singkawang lainnya. Aku hanya berharap tidak ada lagi amoy yang menjadi seperti aku mau pun Ai Ling. Cukup kami yang merasakannya. Sampaikan pada dunia, selamatkan dan lindungi amoy Singkawang dan dari penjualan manusia.