Perempuan itu sibuk di emper toko. Mengurus lapak kecil. Tangan sigap bergerak. Membuka dan menutup kotak pendingin. Dalam sekejap, botol-botol air mineral berpindah tempat. Sudah tertata rapi di keranjang mungil.
Dia lantas bergegas. Seolah tak mau tertinggal roda kehidupan. Satu persatu kios disinggahi. Setiap truk parkir dia datangi. Suara serak terus berteriak. Menawarkan dagangan di tangan.
Dialah Sutini. Pengasong di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur. Di sentra ekonomi Ibukota itu, dia mengadu nasib. Berjibaku semenjak matahari baru menyembul. Bergumul dengan debu dan aroma knalpot truk pengangkut beras.
Dan hari itu, dagangan Sutini laris manis. Perempuan separuh abad ini bak kekurangan waktu. Jangankan berleha-leha. Napas panjang pun tak sempat dia hela. Begitu satu pemesan dilayani, pelanggan lain sudah menanti.
Di bawah terik itu Sutini memeras keringat. Penat dan peluh menjadi kawan setia. “Alhamdulillahhari ini dagangan lumayan laku. Bisa buat makan keluarga,” kata ibu satu anak ini kepadaDream, akhir pekan kemarin.
Sutini sudah melewatkan separuh usia di pasar itu. Namun roda hidupnya bergerak lambat. Saat laju ekonomi Jakarta melesat, hidup Sutini seolah berpacu di tempat. Selama seperempat abad, Sutini tetap mengasongkan dagangan. Profesi yang digeluti sejak pertama kali tiba di Ibukota.
Sulit, tapi Sutini tak menyerah. “Saya tidak mau merepotkan orang lain atau menerima belas kasihan orang lain, apalagi ngemis. Selama saya punya tenaga dan kesehatan, lebih baik seperti ini, walaupun pendapatan tidak seberapa,” begitulah prinsip hidupnya.
Perempuan dengan kepala ditaburi uban ini bahkan jadi penyangga keluarga. Sang suami, Subadi, hanya pekerja serabutan. Hasilnya tak menentu. Sehari bekerja, bisa jadi seminggu kemudian cuma menunggu nasib.
Sudah begitu, Sutini masih dibebani oleh keluarga putri semata wayangnya, Lusiana Wati. Anak 24 tahun itu memang sudah menikah. Namun hidup sang menantu juga ngos-ngosan. Cuma penjual bensin enceran. Jangankan membeli susu untuk anak mereka, kepulin dapur saja Senin-Kemis. Dan selalu kepada Sutinilah mereka menaruh nasib.
“Kasian lihat anak dan cucu saya. Kehidupannya sama seperti saya. Kalau saya tidak kerja nanti malah membebani mereka. Lumayan penghasilan saya bisa buat bantu mereka makan,” kata Sutini tersenyum.
***
Jakarta sudah temaram. Matahari sudah rebah. Dan Sutini pun bergegas dari pasar itu. Setelah membersihkan lapak, dia melaju ke rumah kontrakan. Dengan berjalan kaki, dia keluar masuk gang. Setelah menempuh 500 meter, sampailah dia di rumah.
Tempat tinggal Sutini adalah himpunan kesusahan. Hanya berukuran 3X4 meter. Bisa dibilang, bangunan itu tak layak huni. Selain sempit, juga kumuh. Lihat saja daun pintunya. Separuh sudah hilang dimakan rayap. Selembar kelambu kumal dijadikan penutup.
Melongok ke dalam, terlihat kasur lusuh terlipat. Teronggok di samping lemari kayu reot. Sehari-hari, di ruangan itulah Sutini dan sang suami bertahan hidup. Makan dan juga tidur. Untuk memasak dan mandi, dia harus bergantian dengan penghuni kontrakan lain.
“Meski kondisinya begini, saya bersyukur. Anak sama cucu dekat juga. Jadi nggak kahwatir kalau dia butuh apa-apa, ada saya dan suami,” tutur dia.
Di kamar ini pula hasil jualan Sutini dihabiskan. Penghasilan Rp 40 ribu sehari dia gunakan untuk makan. Sisanya ditabung. Dipakai melunasi kontrakan setiap awal bulan. “Saya ikhlas dan bersyukur dengan kehidupan yang saya jalani sekarang,” ujarnya.
Itulah Sutini. Sosok ibu yang bertarung dengan kerasnya kehidupan Jakarta. Hidup mengasong tak membuatnya menyerah. Apalagi membuat tangan menengadah. Selama tenaga masih ada, tekad menghidupi keluarga terus menyala.
***
Sutini tak sendiri. Di sekujur Bumi ini, ribuan, bahkan jutaan ibu yang berkorban demi keluarga. Mereka menjadi tulang punggung keluarga, ketika punggung mereka sudah membungkuk lantaran tak kuat menahan usia. Dari mencari nafkah seperti Sutini hingga merawat anak cacat hingga usia sepuh. Mereka seolah membuktikan kebenaran pepatah: “kasih ibu sepanjang masa”.
Simaklah kisah menggetarkan Meliah Md Diah. Nenek renta asal negeri jiran, Malaysia. Usianya sudah lewat satu abad. Namun kasih sayang kepada sang putra, Abdul Rahman, tak pernah lekang dimakan umur.
Nenek Meliah boleh saja pikun. Tapi dia tak pernah lupa nama si bungsu yang sudah berusia 63 tahun itu. Meski keduanya sudah sama-sama keriput, nenek Meliah masih merawat Abdul Rahman seperti bayi. Memandikan, memakaikan baju, hingga menyuapi bila waktu makan tiba. “Saya akan merawat dia selamanya. Saya mencintai, dan hanya ingin bersamanya,” tutur Meliah.
Bukan perkara mudah bagi nenek Meliah merawat si bungsu. Sebab, Abdul Rahman lahir dengan “kondisi khusus”. Tak bisa bicara, tak bisa berjalan, dan tentu saja saban hari cuma merebah di dipan. Lebih susah dari merawat bayi.
Sudah begitu, nenek Meliah harus merawat Abdul Rahman sendiri. Sang suami sudah menghadap Sang Khaliq dua puluh tahun silam. Sementara, dua kakak Abdul Rahman meninggal pada usia muda. Beruntung Meliah masih punya kerabat yang silih berganti membantu.
Di Mesir, ada sosok Sisa Abu Daooh. Ibu satu putri ini harus menyamar sebagai laki-laki selama 43 tahun. Itu dia lakukan untuk bisa melindungi dan menghidupi buah hatinya.
Penyamaran itu bermula pada dekade 1970-an. Itulah masa paling gelap dalam hidup Sisa. Sang suami meninggal dunia saat Sisa mengandung enam bulan. Sejak itulah dia harus berjuang sendiri. Membesarkan si buah hati yang diberi nama Houda.
Setelah kematian sang suami, Sisa diperkenalkan dengan sejumlah pria. Namun tak ada yang membuai jiwa. Sehingga mau tidak mau, dia harus bekerja. Demi menghidupi sang putri tercinta.
Tak mudah memang. Sisa tumbuh dalam lingkungan kolot. Keluarga tak mengizinkannya bekerja. Sebagaimana tradisi yang selama ini mereka yakini. Hanya kaum pria saja yang bisa bekerja di luar rumah. Kian sulitlah mendapat kerja karena dia berpendidikan rendah.
Tapi Sisa bukan tipe perempuan lemah. Dia memeras otak. Mendobrak budaya. Sehingga dia memutuskan untuk menyamar sebagai laki-laki. Baju perempuan ditanggalkan. Diganti dengan celana dan galabeya, baju khusus pria.
Memutar otak berkali-kali, itulah satu-satunya cara mendapatkan uang. “Ketika wanita melepaskan sisi kewanitaannya, itu sulit. Tapi, apapun akan saya lakukan untuk putri saya,” begitulah dia menjelaskan keputusan yang terbilang aneh itu.
Dan keputusan ini membuahkan hasil. Sisa mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di Aswan. Selama tujuh tahun profesi ini digeluti. Meski dengan gaji sangat rendah. Setelah itu, dia ganti profesi sebagai tukang semir jalanan.
Sisa pernah berharap bisa menikmati hari tua. Tak lagi memeras keringat dan bertaruh nyawa di jalanan. Hidup nyaman di hari senja. Angan itu seolah terwujud saat dia menikahkan putrinya.
Namun takdir berkata lain. Tak lama setelah pernikahan itu, menantunya jatuh sakit. Sehingga tak bisa bekerja. Mau tidak mau, Sisa harus kembali ke jalanan. Bekerja menyemir sepatu.
Kisah Sisa kemudian diangkat oleh media massa. Sejak itu hidup susahnya mendunia. Pemerintah Mesir bahkan memberinya gelar “Ibu Ideal”. Dan itulah yang menyudahi hidup pahitnya. Banyak orang datang menolong.
Sutini, Meliah dan Sisa adalah cinta tanpa batas. Bahkan ketika waktu menggerus segala-galanya. Tulang punggung sudah bungkuk. Mata sudah rabun. Dan kosa kata banyak yang lenyap dari ingatan.
Sungguh sangat mengharukan bukan.Kini kita harus lebih sering menjaga,mengasihi dan mencintai ibu kita sepenuh hati selama dia masih bersama kita.Jangan pernah lupakan kasihnya kepada kita.seburuk apapun.sehina apapun dan apapun dia.dia adalah seorang ibu yang telah melahirkan.membesarkan kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya.ibu tetap seorang ibu.
Aku mencintaimu ibu!!!