Bagian Ketiga
Tulisan ini bukan tulisan wisata melainkan pengalaman melakukan perjalanan lintas perbatasan RI-Malaysia. Saya bagi menjadi tiga bagian: Menuju Tapal Batas, City of Kuching dan Hujan Batu Di Negeri Sendiri. Selamat membaca. O ya, komentar Anda akan sangat berharga bagi saya, jadi jangan pelit-pelit. Hitung-hitung latihan menulis juga kan?! Terima kasih sebelumnya.
HUJAN BATU DI NEGERI SENDIRI
Selamat tinggal, Malaysia! Cukup sudah aku menyaksikan hujan emas di negerimu! Pertanyaan di benakku bagaimana mengubah hujan batu di negeriku menjadi batu-batu pertama. |
Total waktu yang kami habiskan di Kuching hanya 16 jam, boleh jadi kami telah memecahkan rekor waktu tersingkat mengunjungi Kuching di antara orang Indonesia. Tidak seperti ketika berangkat, tiket sangat mudah didapatkan di Pontianak, di terminal sentral Kuching kami hampir tidak mendapatkan tiket untuk bis yang berangkat pukul 11 atau pukul 10 waktu Indonesia. Kami berdua harus duduk terpisah di nomor bangku 5A dan 6A bis super executive S.J.S. Tetapi bis yang kami tumpangi kali ini sungguh berbeda dengan bis Sri Merah dari Pontianak. Sesuai dengan motonya “Keselamatan & Kepuasan Anda adalah Tujuan Utama Kami” supirnya sangat berhati-hati. Baik supir maupun keneknya mengenakan seragam safari biru tua yang rapi.
Aku juga sangat puas karena kamar kecil berfungsi dengan baik dan tidak berbau sebab tersedia air yang cukup untuk menyiramnya setelah digunakan. Film-film yang diputar juga merupakan film baru (walaupun kami sudah pernah menontonnya, film-film ini pantas ditonton ulang). Sebab supir membawakan bisnya dengan hati-hati pemutaran DVD tidak perlu terganggu sama-sekali.
Rupanya menyebarang dari arah Indonesia dan dari arah Malaysia banyak juga perbedaannya. Seperti telah dibahas di bagian sebelumnya, kami menyeberang dari Indonesia di pagi buta. Menghadapi petugas yang masih mengantuk (salah-satu petugas imigrasi Malaysia waktu itu rambut panjangnya masih basah-kuyup sehabis mandi keramas). Jumlah orang yang menyeberang dari Indonesia menuju Malaysia juga sangat banyak. Sebaliknya dari Malaysia menuju Indonesia, hanya terdapat dua bis atau sekitar 50 orang. Di imigrasi Malaysia prosesnya sangat cepat sebab ada beberapa loket yang buka. Di sebelah Indonesia hanya ada satu loket yang buka dan itu memakan waktu lebih dari 20 menit untuk mencap paspor.
Ketika kami berjalan menuju loket pemeriksaan seorang ibu berbadan gempal mendesak-desak aku padahal jalanan sedang sepi. Rupanya ia bermaksud berlindung di balik tubuhku agar keranjang bawaannya tidak diperiksa petugas bea cukai. Tetapi usahanya gagal sebab seorang petugas melihatnya dan langsung mencegatnya walaupun ibu itu melancarkan protes.
Sambil menunggu giliran aku sempat memperhatikan bangunan pos pemeriksaan yang cukup kokoh. Angka tahun umur bangunan boleh jadi tertoreh, tetapi kondisnya masih tampak baik. Sayangnya sarang laba-laba dan rumah lebah mengotorinya. Kompresor AC terlihat kotor karena jauh dari jamahan tangan pembersih. Satu lagi kebiasaan hidup asal hidup. Seperti di mana-mana bangsa kita giat membangun berbagai fasilitas tetapi malas merawat.
Berhubung pada saat berangkat dari Pontianak malam hari aku tidak sempat melihat pemandangan yang ada di sisi jalan maka sekarang aku bersiap melihat segalanya. Seperti pernah ditulis oleh beberapa blogger, bagian Malaysia tampak jauh lebih rapi dengan bangunan-bangunan permanen terletak jauh dari jalan yang mulus. Di bagian Indonesia, sejak Entikong menuju Sosok, Tayan, Sei. Ambawang bangunan asal jadi meramaikan kedua sisi jalan dan letaknya sangat berdekatan dengan badan jalan yang sebagian besar belum beraspal atau aspalnya sudah tertutup lumpur.
Perbedaan itu juga telah diperibahasakan sebagai hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri secara tepat. Pembangunan gagal menyejaterahkan bangsa dan itu menyebabkan hujan batu terus berlangsung. Kalbar memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan itu pula yang membawa petaka rusaknya lingkungan. Salah urus dan korupsi mengakibatkan rakyat Kalbar tetap terpuruk sehingga mereka harus mencoba mengadu nasib di negeri jiran. Harapan mereka supaya ikut kehujanan emas tentunya hanya harapan kosong, apalagi kalau mereka masuk Malaysia sebagai pendatang haram, maka yang mereka peroleh tetaplah hujan batu.
Menjelang pukul 2 siang kami tiba di tempat peristirahatan bis-bis lintas negara, rumah makan Roda Minang. Selain supir dan pembantunya tidak ada satu pun penumpang bis yang turun untuk makan. Kami juga membawa bekal dari Kuching—menyalahi rencana membelanjakan uang di negeri sendiri, tapi apa daya! Bagaimana pun aku sempat membeli rujak buah dan buah nenas.
Menjelang senja, bis kami memasuki kota Pontianak melalui Sei. Ambawang dan melintasi jembatan Kapuas. Berakhir sudah satu petualangan kami dan petualangan berikutnya sudah menunggu.
Ini kondisi jalan dan suasana di Malaysian.
Bandingkan dengan kondisi jalan di Indonesia pada foto di bawah.
Ini kondisi jalan dan suasana di Indonesia. Perhatikan betapa dekatnya antara badan jalan dengan warung
dan perhatikan pula sepeda motor yang diparkir seenaknya di jalan.
Gambar ini kupotret antara Kota Kuching dengan Tebedu (kota perbatasan dengan Entikong).
Bandingkan dengan pertokoan di Pasar Kembayan. Mengapa bisa berbeda sekali?
Tanyakan pada rumput yang bergoyang kata Ebiet G. Ade.
Lain padang lain belalang, lain Sarawak lain Kembayan. Pasar di sini tidak seperti yang tampak pada
foto di atas.
Sepanduk kampanye ini sungguh tangguh! Bayangkan digantung sejak sebelum Imlek dan Cap Go Me.
Sejak Januari 2012? Apa alasan tidak menurunkannya?
Selama di Malaysia supir bis tidak perlu membunyikan klaksonnya, tapi di Indonesia, bagaimana ia tidak
membunyikannya jika ia harus menghadapi pengendara motor tanpa baju... oh, jangan tanya helm!
Beli rujak di depan rumah makan Roda Minang (gambar di bawah).
Penjualnya mengaku berasal dari Jawa.
Begitu pula salah seorang petugas Kesehatan di Sosok mengaku sudah tinggal di Kalbar selama 32 tahun.
Agaknya kita sulit melawan nasib yang menentukan seseorang lahir di mana dan menghabiskan waktunya
di mana. Pegawai Puskesmas ini datang dari Jawa Timur dan tinggal 32 tahun di Kalbar. Aku lahir di Kalbar dan menghabiskan waktu separuh umurku di Jawa.
Rumah makan yang buka 24 jam, melayani bis-bis antara negara ini menggunakan elpiji Petronas lho.
Generasi muda Kalbar yang bermain dengan gembira.
Di salah-satu toko pinggir jalan aku juga melihat seorang anak SD sedang mengerjakan PR.
Akankah mereka sanggup mengubah masa depan Kalbar????
Foto ini sebenarnya kupotret di tempat wisata terkenal di Kalbar, Pasir Panjang sebab sangat sulit
membidik foto dengan kegiatan serupa dari atas bis.
Jembatan Kapuas yang diresmikan tahun 1982. Betapa bangganya aku waktu itu.
Mudah-mudahan ia dirawat dengan baik supaya nasibnya tidak seperti Golden Gate Sungai Mahakam
yang rubuh 26 November 2011 itu. Cukup sudah korban-korban kecerobohan di negeri Hujan Batu ini!