Entikong, Perbatasan Indonesia Yang Terlupakan

Bismillah,

Sore itu, ada sms masuk ke hape saya, ternyata dari Pak Gatot Samafitro Jakarta, isinya kurang lebih seperti ini, “Selamat sore Bisma, bisa tolong carikan informasi tentang biaya pemberangkatan ke Entikong, dan lama perjalanan kesana, soalnya kemungkinan akan ada pemasangan mesin di Kantor Imigrasi Entikong, terima kasih.”

Segera saya jawab pesannya, “Iya pak, siap. Nanti kalau sudah dapat informasinya, saya kabari lagi.”

Jujur saja, baru pertama kalinya saya dengar kata “Entikong” itu. Sejenak sambil menerawang, oh, dimana engkau berada, duhai entikong. Semoga saja kau baik-baik saja, ya.

Kebetulan sore itu saya sedang bersama Pak bos, juragan di PD. Standard, dealernya Canon di daerah Pontianak. Pak Edi namanya, ia seorang keturunan china, berbadan tampak kurus tinggi, berkulit agak kuning langsat, dan kisaran usia nya sudah 50 tahunan lebih. Ya, pak Edi lah yang selama ini banyak bekerjasama dengan pekerjaan saya di Pontianak.

Setelah melihat pesan sms dari Pak Gatot tadi, segera saja saya menanyakan informasi tentang Kota Entikong itu kepadanya, karena ia asli dari Pontianak, Kalimantan Barat. Masa sih, tak tahu tentang informasi perjalanan ke Entikong.

“Pak, Entikong itu dimana ya?” Tanya saya penasaran.

“Wuuiih, jauuuh bisma… 8 jam perjalanan kamu baru bisa nyampe kesana, emang mau ada apa kamu nanya kesana?” Tutur pak Edi dengan balik bertanya kepada saya.

“Ini pak, tadi ada sms dari Pak Gatot untuk cari informasi keberangkatan kesana, karena akan ada pemasangan mesin di Entikong, tepatnya di Kantor Imigrasinya.”

“Oh, lumayan mahal lah, karena dari Pontianak kesana cukup jauh, Entikong itu kan, yang membatasi Indonesia dengan Malaysia.”

“Oh. Waw!” Jawab saya dalam hati.”

Sungguh, mungkin jika nanti saya jadi berangkat kesana, ini benar-benar pengalaman perjalanan sementara saya yang paling jauh saya lalui, perbatasan Kalimantan Barat, men! Haha.

Setelah mengetahui banyak informasi dari Pak Edi tentang keberangkatan menuju Entikong, dari mulai biaya perjalanan, persiapan peralatan, dan yang lainnya. Kemudian, barulah saya menentukan jadwal keberangkatnya, sendirian.

Hari itu, hari minggu. Rencananya saya akan berangkat dari Pontianak menuju Entikong saat malam hari, dimana terangnya bintang akan bersama menemani langkah ini, pun langit begitu, Ia akan membentangkan langit cakrawala malam, seakan-akan malam itu malam yang paling menegangkan yang akan saya lalui, Ya, semoga selamat sampai tujuan. Aamiin.

Perjalanan saya kali ini dari Pontianak menuju Entikong akan melalui jalur darat (jalanan sutra) dengan menggunakan jasa transportasi Bus Express, yang banyak berserakan di pesisir kota Pontianak. Namun kali ini saya akan berangkat dengan jasa bus “Sri Merah” yang betujuan Pontianak-Kuching. Ya, memang tak ada yang langsung menuju Entikong, karena ini bus pariwisata, jadi kebanyakan tujuannya langsung ke Kuching, Malaysia. Atau ada juga yang tujuannya Pontianak-Brunei Darussalam, dan ini nanti yang akan mengakibatkan saya harus bilang kiri ditengah perjalanan. Karena jikalau kebablasan bisa jadi saya sampai Malaysia, dan nanti akan diperiksa, karena belum mempunyai pasport. Hehe.

Pukul 18:00 wib, setelah saya shalat maghrib, saya bersiap-siap menuju tempat keberangkatan bus “Sri Merah” yang tepat berada di arah kota Pontianak, jl. Antasari. Sebenarnya dari sini saya belum naik bus, karena bus yang menuju Entikong nya menunggu di Terminal Ambawang. (salah satu terminal terbesar di Pontianak).

Saya memulai perjalanan ini dengan menaiki taxi yang memang sudah dipesan sebelumnya, dan kurang lebih 40 menit saja saya akan sampai di Terminal Ambawang, Pontianak.

Huwaaa… Malam itu benar-benar membuat hati saya serasa melompat-lompat indah, tak tentu arah. Bayangkan saja, berangkat pertama kali, di malam hari, lamanya 8 jam perjalanan baru sampai di Entikong, itu pun pasti subuh sampai kesananya. Karena jadwal pemberangkatan Bus dari Terminal Ambawang tepat pukul 21:00 wib, dan otomatis saya sampai ke Entikong sekitar pukul 05:00 subuh. InsyaAllah.


Pukul 20:00 wib, Alhamdulillah, saya sampai di Terminal Ambawang, kemudian saya turun dari taxi dengan membayar seharga Rp. 20.000,- saja.

Baru sampai di Terminal Ambawang, saya beristirahat sejenak, toh masih ada waktu 1 jam lagi sebelum bus nya berangkat, saya membeli dulu snack atau makanan kecil, seperti roti dan sebagainya. Lalu, menuju mushola. Disana saya bertemu dengan dua orang pria asli kewarganegaraan Malaysia, kemudian saya menyapa mereka, dan mereka pun menyambut saya dengan baik.

“Assalamu’alaikum, mau kemana bang?” Tanya saya pada salah satu dari mereka.

“Wa’alaikumussalam.. kami nak pulang ke serawak, Malaysia.” Jawab salah seorang darinya, dengan logat melayu yang khas.

“Oh.. ya ya.”

“Adik mau kemana?” Tanya satu orang lagi kepada saya.

“Saya mau ke Entikong. Tepatnya di Kantor Imigrasi.”

“Oh.. hanya sampai Entikong ya, kami kira adik ke Malaysia juga.”

“Hehe, enggak bang.”

Malam itu menjadi terasa hangat, sambil menunggu keberangkatan, kami banyak berdiskusi tentang perbedaan negara Malaysia dan Indonesia, dari mulai kondisi perkotaannya, perusahaan-perusahaan, sikap masyarakat, budaya, tempat rekreasinya, pun sampai makanan khasnya.

Dan saat itu saya tak lupa mengenalkan diri, bahwa saya bukan asli Pontianak, tapi asli dari Bandung, Jawa Barat, dan mereka pun antusias sekali dengan cerita saya tentang keindahan kota Bandung dan budaya-budaya di beberapa pulau-pulau yang ada di Indonesia juga.

Memang, boleh dikatakan dua orang dari Malaysia yang saya temui itu sangat baik dan ramah, lalu, saya mencoba bertanya perihal apa kedatangan mereka kesini, ternyata mereka sengaja untuk jalan-jalan keliling indonesia di setiap bulannya, dan itu di sela-sela aktifitasnya. Hebat sekali, betapa mengagumkannya negeri kita ini, yang tak bosan-bosannya banyak dikunjungi oleh turis-turis dari luar negeri.

Tak terasa, waktu sudah pukul 21:00 wib, saatnya saya bersiap untuk menaiki bus express “Sri Merah” itu, beranjak saya dari obrolan bersama kedua pria itu seraya mengucapkan salam, dan semoga dapat bertemu lagi dilain waktu. Oh ya, harga tiket bus express Pontianak-Kuching itu sekitar Rp. 250.000,- /orang.

Perjalanan pun dimulai, perjalanan malam, yang diselimuti hangatnya doa orang tua, dan pak Joko (SPV Samafitro Bandung), sambil saya coba menyesuaikan tempat duduk dalam bus itu dengan sangat baik, sesuai posisi duduk, demi perjalanan yang cukup lama.

Dan tak lupa, saat diawal menaiki bus tadi, saya berbicara pada supirnya, “Pak, tolong nanti saya diturunkan di wilayah Entikong ya, di depan Kantor Imigrasi.” itu salah satu ikhtiar saya, supaya selamat sampai tujuan, karena mungkin nanti sepanjang perjalanan malam, bisa jadi saya akan tertidur… hehe.

Sungguh, setiap perjalanan banyak pelajaran yang didapat. Alhamdulillah, kondisi jalan sangat lancar dan cukup baik, saya lihat kembali arah jendela kaca bus, sambil tafakur, “Ya Allah, alangkah luasnya bumi-Mu ini, indah, sungguh menakjubkan sekali duhai Rabb, Tuhan seluruh alam.” tak cukup mungkin hanya dengan melihat, tanpa disertai zikir kepada-Nya.

Detik demi detik, jam demi jam dilewati, setengah perjalanan, kami seluruh penumpang bus, berhenti di tempat peristirahatan pertama, saya lupa dimana tempat istirahat pertama itu, yang jelas, saat itu masih tengah malam, kurang lebih pukul 00:45 wib, penumpang yang lain ada yang membeli makan, dan minum, dan ada juga yang tetap tidur, dan tak keluar dari dalam bus.

Perjalanan pun dilanjutkan, awalnya saya tak bisa tidur dalam bus, tapi setelah pemberangkatan setelah istirahat ini, saya mulai mengantuk, tapi masih agak takut, takut sang supirnya lupa membangunkan saya, apabila sudah sampai Kantor Imigrasi, Entikong, tapi mata saya sudah benar-benar ingin tenggelam saat itu, dan saya tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menenggelamkan kesadaran dalam indahnya lelapnya malam. Karena dalam pikiran, masih lama juga perjalanannya, kemungkinan ada sekitar 4 jam-an lagi sampai Entikong. Ya sudah, tertidurlah saya malam itu, nyenyak sekali.

Dan, sekian jam saya tertidur. Ternyata, saya dibangunkan.

“Bang, bang.”

“Mmm, oh iya, pak.”

“Ini sudah sampai Kantor Imigrasi Entikong.”

“Oh, iya pak.”

Segera saya kucek mata dengan tangan, supaya pandangan lebih jelas lagi. Kemudian turunlah saya dari bus itu, waktu menunjukkan pukul 04:15 wib. Saya sendirian turun dijalanan yang sepi, gelap, tak ada mobil satu pun melewati jalanan saat itu.

Saya berjalanan, mengarah kedepan, mendekati Kantor Imigrasi yang tampak terlihat diseberang jalan. Sempat berfikir, “waduh, subuh-subuh begini mana ada orang di dalam kantornya. Tapi saya bingung juga mau menunggu dimana?”

Ya sudah, saya tetap melangkahkan kaki kearah Kantor Imigrasi Entikong, Memang, disekitar jalanan waktu itu amat kosong sekali, tak ada rumah-rumah penduduk, yang ada hanyalah jalan raya yang sunyi, dingin, sepi, walau mobil sesekali melewati jalanan ini, Hiiii…dan hanya ada satu bangunan dan dua rumah kecil yang saya lihat didekat Kantor Imigrasi subuh itu.

Segera saya melangkahkan kaki menuju Kantor Imigrasi, dan berharap ada tempat untuk saya shalat subuh, dan istirahat hingga matahari muncul ke permukaannya.

“Alhamdulillaah!”

Ternyata, ketika saya sudah sampai di depan pintu Kantor Imigrasi itu, terlihat ada seorang penjaga, entahlah mungkin bisa disebut satpam, tapi ia tak berseragam. Ia berada didalam kantor yang terlihat oleh saya diluar jendela. Dan langsung saya ketuk jendelanya itu..

“Tuk, tuk… tuk..” Saya mulai mengambil perhatian seorang penjaga kantor yang sedang duduk-duduk didalam. Tak lama seorang pemuda datang menghampiri saya dengan membuka pintunya.

“Iya, Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu, kok subuh-subuh begini ada disini?”

Haha, ternyata pemuda itu bingung juga, kenapa saya bisa ada disini pukul 04:00 pagi. Tersenyum saya, sambil menjelaskan, “Begini bang, saya dari Canon, Samafitro. Yang akan installasi mesin nanti pagi di Kantor ini. Bolehkah saya menunggu pagi disini?”permintaan saya pada pemuda penjaga kantornya.

“Oh.. Abang yang dari Pontianak ya.. Iya, silahkan bang. Masuk ja, istirahat dulu ja disini..” dia mempersilahkan saya masuk.

“Iya Bang, makasih, oh ya, disini ada mushola nggak ya?

“Oo, ada, ada, tuh disebelah kanan.” Ujar sang pemuda itu.

“Iya, saya sepertinya mau istirahat disana saja ya bang. Sekalian sholat subuh juga.”

“Ya sudah, gapapa. Tapi awas, banyak nyamuk. Hehe.”

“O, tenang saja, saya sudah biasa digigit nyamuk.”

Sejenak saya rebahkan dulu badan yang kaku, pegal, dan linu, karena cukup lama juga duduk di kursi bus, lumayan ‘cangkeul’ sih, 8 jam perjalanan didalam bus.

Sungguh, tidur 1 jam di kasur itu lebih berkualitas bagi tubuh, dari pada tidur 8 jam dikursi mobil. Oh, mang supir, engkau sangat hebat sekali, dirimu memang pahlawan bagi penumpang, karena tanpamu, mobil takkan melaju. Tanpa usahamu, syariatnya, anak dan isterimu dirumah, takkan pernah bisa tidur nyenyak.

Bersyukur sekali pagi itu, saya sampai juga ke tujuan dengan selamat. “Alhamdulillah.”

Entikong, sebuah Kecamatan di Kabupaten Sanggau , Kalimantan Barat, Indonesia. Ibu kota  Kecamatan Entikong berada di Desa Entikong . Kecamatan Entikong mempunyai luas 506,89 km2 dan secara administratif Kecamatan Entikong terdiri dari 5 desa dan 18 dusun. Desa Entikong adalah desa yang sangat dekat dengan perbatasan Indonesia – Malaysia khususnya kota Khucink, Serawak – Malaysia . Selain dengan Malaysia, Entikong juga berbatasan dengan negara Brunei Darussalam.

Menurut informasi yang saya dapat, Mata pencahaharian penduduk disini adalah petani padi, sahang (lada), sawit, karet, dan sebagian adalah tambang emas secara tradisional.

Sebagian besar transportasi di kota Entikong, Kabupaten Sanggau ini masih mengandalkan transportasi sungai seperti sampan, speedboat dan lain-lain. Daerah ini juga masih mengandalkan transportasi umum seperti bus, angkutan dalam kota dan lain-lain.

Dan yang tak kalah penting lagi, perbedaan daerah perbatasan Entikong, Indonesia dengan Serawak, Malaysia. Bisa dibilang ibarat siang dan malam, sungguh terlihat sekali, mana yang lebih berkembangnya, padahal sama-sama perbatasan, contohnya, dalam segi pendidikan dan kesehatannya.

Sekolah-sekolah di daerah Entikong masih terbilang sedikit, dan itu pun lumayan jauh sekali jaraknya dengan pemukiman warga. Coba saja nanti lihat, bila perjalanan menuju Entikong di siang hari, anda pasti melihat anak-anak SD sedang berjalan dipinggir jalan raya, dan itu benar-benar jauh sekali.

Jalan Raya, Entikong
Sungguh, pengalaman yang satu ini, jejak langkah di perbatasan Indonesia takkan pernah saya lupakan.
Bagaimana takkan terlupakan, sekolah-sekolahnya saja masih sedikit, rumah sakit pun masih terbatas, penduduk disana, sampai-sampai mau sekolah saja, harus menempuh jarak yang tidak biasanya. Bahkan, ada yang belanja kebutuhan makanan dan yang lainnya itu sampai-sampai lebih memilih beli di negeri tetangga, Malaysia.
Dan, bila teman-teman nanti nanti berkesempatan mengunjungi kota ini, coba saja lihat dibalik gunung itu, Ya, dibalik gunung itu, disana sudah negeri tetangga, dan perbedaannya cukup amat sangat alangkah hebat dibanding dengan keadaan tempat “titik nol” Indonesia ini.
Semoga kedepannya pemerintah Indonesia bisa lebih memperhatikan dan lebih memanfaatkan kekayaan alam di wilayah Kalimantan Barat ini, karena memang benar, Indonesia ini sungguh kaya akan sumber daya alamnya. Ya, dan pemerintah bisa tetap menjaga dan melestarikannya, supaya tak mudah dimanfaatkan oleh negara lain, itu saja.


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 7/27/2015 03:55:00 am

ARTIKEL TERPOPULER